Surakarta, Merdekapostnews.top
Ruang Banggar DPRD Surakarta hari ini menjadi panggung ketegangan yang terkendali, menyimpan kekhawatiran publik sekaligus kegamangan aparat dalam menghadapi fenomena layanan transportasi baru. Pertemuan yang dihadiri DPRD, perwakilan pemerintah, Polri, perwakilan ojek online, dan delegasi Maxride itu ditutup tanpa keputusan tegas, meninggalkan jurang antara penolakan masyarakat dan keterbatasan instrumen hukum untuk menindak di lapangan, kamis (23/10/2025).
Sebagian besar pihak yang hadir menyuarakan tuntutan serupa, penghentian sementara operasional Maxride sampai ada izin resmi dan kepastian regulasi. Penolakan ini bukan sekadar reaksi emosional, melainkan tuntutan agar penyelenggaraan transportasi publik memenuhi kaidah administratif, keselamatan, dan kepastian hukum. Dari sudut pandang DPRD dan komunitas ojek online, kekhawatiran berfokus pada persaingan tidak sehat, keselamatan penumpang, serta potensi kerugian bagi pengemudi tradisional yang menggantungkan hidup pada penghasilan harian.
Namun di balik seruan tegas itu terkuak satu kenyataan yang mempersulit tindakan praktis, ketiadaan aturan teknis yang jelas untuk layanan jenis baru seperti Maxride. Aparat yang paham hukum, termasuk eksekutif, legislatif, dan kepolisian, tampak enggan melakukan tindakan frontal karena tidak ada dasar hukum yang kuat untuk penertiban. Ada indikasi pula bahwa kelengkapan administratif kendaraan dan pengemudi belum memenuhi standar, namun menindak tanpa instrumen tertulis berisiko berujung pada gugatan administrasi dan protes hukum. Pilihan pragmatis yang muncul adalah menunggu instrumen sementara berupa Surat Edaran (SE) Walikota sebagai dasar administratif untuk tindakan di lapangan.
Polri dan Dinas Perhubungan Surakarta menyatakan akan mengandalkan SE Walikota sebagai pijakan. SE dipandang sebagai jalan cepat yang bisa mengartikulasikan kebijakan sementara, memberi legitimasi tindakan, dan meredam gesekan publik. Namun SE bersifat temporer dan administratif, ia bukan solusi sistemik jangka panjang. Tanpa Perda atau regulasi teknis yang memayungi layanan aplikasi baru, setiap upaya penertiban akan selalu rentan dipertanyakan. Kondisi ini memunculkan paradoks: ada tekanan moral kuat dari publik untuk menertibkan, sementara instrumen legal yang memadai belum tersedia untuk menjamin keberlanjutan tindakan tersebut.
Kekecewaan mengarah pada delegasi Maxride yang hadir. Perwakilan yang tampak lebih berperan sebagai dealer atau penjual tidak mampu menjawab pertanyaan substantif terkait dasar regulasi yang dipakai untuk beroperasi. Ketidakhadiran wakil operasional yang berwenang menjelaskan rencana perizinan, standar keselamatan, atau bukti administratif menimbulkan kesan pengabaian terhadap tata kelola publik. Pernyataan Solidaritas Ojek Online Soloraya (SOS) yang diwakili Josafat Satrijawibawa memperkuat kritik ini, posisi legal Maxride masih abu-abu, sehingga pertanyaan-pertanyaan krusial tetap tak terjawab.
Ketegangan memuncak saat Josafat menuntut kepastian tentang sanksi bagi Maxride jika tetap beroperasi sebelum ada SE Walikota. Jawaban Ketua rapat DPRD bukan ancaman atau langkah hukum konkret, melainkan himbauan tegas agar tidak ada tindakan main hakim sendiri. Himbauan itu menutup pertemuan, namun juga mempertebal kecemasan masyarakat, siapa yang memberi kepastian dan kapan kepastian itu hadir jika aparatur memilih jalur administratif yang lambat dan sementara?
Jalan keluar yang realistis harus berlapis. Pertama, SE Walikota perlu diterbitkan sesegera mungkin untuk memberi dasar administrasi sementara yang jelas, SE dapat memerintahkan penghentian operasional sementara, menetapkan sanksi administratif, dan membuka ruang bagi verifikasi teknis. Kedua, Dishub dan Polri wajib melakukan audit kelengkapan kendaraan dan kelayakan pengemudi secara terukur dan transparan agar tindakan penegakan dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga, DPRD perlu memacu penyusunan aturan daerah yang mengatur layanan transportasi berbasis aplikasi baru, aturan itu harus memuat definisi layanan, standar kendaraan, kewajiban asuransi, dan mekanisme sanksi.
Lebih dari aspek teknis, proses ini menuntut dialog inklusif. Organisasi ojek online juga harus dilibatkan sebagai pemangku kepentingan sah dalam merumuskan kebijakan agar solusi akhir tak meminggirkan pekerja yang rentan. Perwakilan operator seperti Maxride harus hadir dengan kapasitas penuh, bukan diwakili oleh dealer yang tak punya otoritas membuat komitmen. Keterbukaan tentang rencana operasional, sertifikasi kendaraan, dan jaminan keselamatan penumpang perlu menjadi bagian dari meja perundingan agar publik dapat menilai dan menuntut akuntabilitas.

Solidaritas Ojek Online Soloraya juga menyoroti kelemahan proses mediasi sebelumnya, beberapa mediasi yang digelar tidak menghasilkan solusi terukur, mengakibatkan pesimisme publik. Penyebabnya beragam, mulai perbedaan kepentingan antara pemerintah, aplikator, driver, dan masyarakat, ketidakhadiran pengambil keputusan dari aplikator, kelemahan penegakan aturan, hingga ketiadaan mekanisme monitoring pasca-mediasi. Untuk menggeser perselisihan dari wacana ke tindakan konkret diperlukan kehadiran manajemen aplikator yang berwenang dalam forum resmi, keputusan administratif tertulis dengan tenggat dan sanksi, checklist kepatuhan teknis yang jelas, inspeksi berkala yang dipublikasikan, keterlibatan pihak ketiga netral sebagai pemantau, serta strategi advokasi komunitas yang terdokumentasi.
Kasus Maxride juga menimbulkan masalah sosial yang lebih luas, potensi mengganggu program walikota tentang sistem transportasi integral, mengurangi peran becak sebagai ikon wisata, menambah kepadatan lalu lintas, dan beroperasi tanpa izin. sementara SOS sendiri sedang memfokuskan energi advokasinya ke rencana Konvoi Keadilan ke Jakarta untuk menemui pemerintah pusat pada 20 November 2025, upaya yang dimaksudkan untuk membawa suara pekerja lokal ke tingkat kebijakan nasional.
Apa yang terjadi di ruang Banggar adalah cermin konflik antara inovasi dan vakumnya regulasi serta realitas sosial. Kota yang ingin melindungi warganya sekaligus memberi ruang inovasi harus bergerak cepat menutup celah administratif yang menciptakan ketidakpastian, melindungi pekerja tradisional, dan memastikan keselamatan publik tidak dikorbankan oleh model bisnis yang belum matang. Tanpa langkah terkoordinasi, penolakan moral masyarakat akan terus berbenturan dengan kendala legal di lapangan, dan korban pertama dari kebuntuan itu adalah kepercayaan publik terhadap tata kelola kota.
( Pitut Saputra )













