YOGYAKARTA, Merdekapostnews.top
Hari ini, segenap elemen Ojol (Ojek Online) dan masyarakat bergerak bersama mengambil langkah solidaritas sebagai simbol duka mendalam dan bentuk keprihatinan atas tragedi yang menimpa salah seorang rekan ojek online. Aksi bersama ini lahir dari kesadaran bahwa di balik seragam dan skuter setiap pengemudi ojol terdapat sosok manusia dengan keluarga, harapan, dan mimpi. Ketika sebuah nyawa terenggut, itu adalah panggilan bagi kita semua untuk bersuara, memeluk keadilan, dan menuntut akuntabilitas. Solidaritas yang terbangun bukan semata unjuk perasaan, melainkan cermin tanggung jawab kolektif yang menuntut penegakan hukum tanpa kecacatan dan perlindungan hak asasi (29/08/2025).
Di Yogyakarta, FOYB dan aliansi komunitas ojol menegaskan kecaman keras terhadap kasus tersebut dengan aksi membagikan pita hitam kepada para pengendara dan pejalan kaki yang melintas di perempatan Condong Catur. Pita hitam ini berfungsi sebagai tanda berkabung sekaligus panggilan nurani agar kita tidak membiarkan kasus kekerasan berlalu tanpa jejak kejelasan. Setelah prosesi pembagian pita, massa akan menggelar ritual keheningan dengan menyalakan lilin di depan Mapolda DIY. Cahaya lilin-lilin tersebut tak hanya menerangi, tetapi juga menggambarkan tekad kolektif untuk menyibak tirai persoalan hingga terang benderang. Solidaritas ini akan dilanjutkan dengan sholat Jum’at bersama di masjid Polda DIY, sebagai wujud permohonan keselamatan bagi korban dan keluarga, sekaligus doa agar keadilan segera ditegakkan.
Sementara itu, di Surakarta, titik aksi juga terpusat di depan Stadion Manahan Surakarta. Ratusan pengemudi ojol, didukung oleh simpatisan dari berbagai komunitas kemasyarakatan, berkumpul memulai long march menuju markas Brimob Batalyon C Pelopor Surakarta. Long march ini bukan hanya unjuk kekuatan massa, melainkan representasi langkah-langkah nyata yang menggema di seluruh penjuru negeri “Usut tuntas, jangan biarkan pelaku berkeliaran.” Setiap langkah kaki yang menapaki jalanan kota mengandung janji tak akan menyerah hingga setiap pertanyaan terjawab dan keadilan ditegakkan.
Para koordinator aksi di Yogyakarta dan Surakarta mengatakan langkah-langkah solidaritas ini menyimpan hikmah yang menuntut keseriusan pemahaman kita sebagai warga negara. Pertama, kita diingatkan akan pentingnya empati. Ketika melihat pita hitam, lilin menyala, atau barisan panjang massa berjalan, pesan yang tersampaikan adalah satu, di setiap tragedi, ada kepedihan manusiawi yang tak boleh diredupkan oleh rutinitas dan ketidakpedulian. Empati inilah yang memicu komunitas untuk bergerak, berbagi rasa, dan memperjuangkan satu sama lain.
Kedua, aksi ini meneguhkan bahwa penegakan hukum tak bisa ditanggalkan pada institusi saja, melainkan membutuhkan pengawasan publik. Masyarakat yang aktif menuntut transparansi proses hukum memaksa aparat untuk bekerja jujur, profesional, dan akuntabel. Tanpa tekanan masyarakat, investigasi bisa berjalan setengah hati, korban menjadi angka statistik, dan kepercayaan publik habis terkikis.
Ketiga, solidaritas seperti ini merajut kebersamaan lintas latar belakang. Pengemudi ojol dari berbagai platform bersama-sama mengesampingkan persaingan bisnis untuk satu misi, menegakkan keadilan. Dari titik temu Condong Catur hingga titik kumpul Manahan, perbedaan menjadi penguat, bukan penghalang. Di saat itulah kita belajar bahwa kepentingan bersama mampu melebihi ego kelompok.
Keempat, tragedi ini menjadi panggilan untuk melakukan evaluasi sistemik. Bagaimana perlindungan bagi pekerja dengan status informal? Seberapa tanggap aparat dalam menanggapi laporan masyarakat? Apakah mekanisme pelaporan dan pengaduan sudah memadai? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab dengan reformasi nyata, pembaruan prosedur kepolisian, peningkatan pelatihan human rights bagi petugas, hingga sistem pengawasan independen yang melibatkan elemen pengamat eksternal.
Kelima, aksi solidaritas berfungsi sebagai momentum pendidikan publik tentang hak asasi dan proses hukum. Respon kolektif terhadap kasus ini dapat dijadikan bahan diskusi di lingkungan keluarga, sekolah, dan ruang publik lainnya. Dengan begitu, masyarakat tidak hanya menjadi konsumen berita duka, tetapi juga aktor pengawal kebenaran.
Keenam, kesadaran kolektif ini menegaskan nilai keberlanjutan gerakan sosial. Solidaritas sekali suara hari ini sejatinya harus menjadi gerakan terus-menerus dalam memastikan insiden serupa tak terulang. Itu bisa diwujudkan melalui pembentukan forum diskusi, jaringan advokasi, dan kampanye kesadaran berkelanjutan di berbagai kota.

Pada akhirnya, peristiwa duka ini memanggil kita untuk menata kembali makna gotong royong di era modern. Saat seribu lilin menyala di halaman Mapolda DIY, itu bukan hanya simbol kesedihan, melainkan cahaya harapan bagi keluarga korban yang menanti jawaban. Saat barisan massa menapaki trotoar Surakarta, itu bukan sekadar long march, tetapi barisan keyakinan bahwa kebenaran akan menemukan jalannya. Aksi-aksi hari ini akan menjadi catatan sejarah kecil yang mengingatkan generasi mendatang bahwa saat keadilan terancam, masyarakat tak boleh bungkam.
Hikmah terbesar yang bisa kita petik adalah bahwa tatkala sistem tampak melemah, kekuatan solidaritas masyarakat sipil dapat menggugah kebijakan dan membangkitkan nurani penguasa. Aksi damai ini mengajarkan bahwa suara rakyat, meski berasal dari kalangan pinggiran seperti ojol namun memiliki daya guncang yang mampu menembus ruang-ruang kekuasaan. Mari kita rawat semangat ini, sambil terus mendorong proses hukum berjalan adil, transparan, dan cepat. Dengan demikian, setiap nyawa yang hilang tak sia-sia, tetapi menjadi tonggak perubahan menuju Indonesia yang lebih bermartabat dan berkeadilan.
( Pitut Saputra )













